Category Archives: AJARAN PARA HIYANGAN

Tinjauan Ajaran Nabi Muhammad SAW terhadap Ajaran Para Hiyangan

MENIMBANG PENGETAHUAN DZAHIR (Dunia) – PENGETAHUAN BATHIN (Akhirat).

Assalamu’alakum WrWb
Sampurasuuun…
Bismillahirrahmaanirrahiim
Segala puji bagi Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang..
Sholawat dan salam tercurah kepada Habiibana Wamabiyyana Muhammad SAW beserta kepada Ahlul-Bait Muhammad yang Alloh sucikan sesuci-sucinya(Al-Ahzab:33)..
Mohon izin kepada teman, saudara lainnya untuk berbagi kajian saya pribadi yang sedang dan selalu belajar serta haus akan ilmu pengetahuan :
MENIMBANG PENGETAHUAN DZAHIR (Dunia) – PENGETAHUAN BATHIN (Akhirat).
1). PENGETAHUAN DZAHIR (Dunia):
Segala informasi yang diperoleh melalui Mata (Alat Melihat Dunia), Telinga (Alat Mendengar Dunia), Hidung (Alat Penciuman Dunia), Mulut (Alat Merasa Dunia), Tangan-Kaki (Alat Peraba Dunia). Dengan kata lain ILMU PENGETAHUAN DZAHIR adalah Informasi yang telah diuji kebenarannya serta dapat diamalkan melalui PANCA INDRA.
2). PENGETAHUAN BATHIN (Akhirat).
Segala informasi yang diperoleh dengan Tidak Menggunakan Alat Mata, Telinga, Hidung, Mulut, Tangan dan Tidak Menggunakan Alat Kaki. Dengan kata lain ILMU PENGETAHUAN BATHIN adalah Informasi yang telah diuji kebenarannya serta diamalkan melalui INDRA KE-6 (DILUAR PANCA “5” INDRA).

Lajengkeun maos

TRADISI LISAN DI ALAM MELAYU ARAH DAN PEWARISANNYA

Oleh Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.[1]

PENGANTAR

Tradisi lisan adalah sebuah kebudayaan yang diwariskan terutama melalui aspek kelisanan (oral tradition). Banyak kebudayaan di dunia ini yang dalam pewarisannya mengutamakan tradisi lisan. Namun demikian, di antara tradisi-tradisi lisan di dunia ini mereka juga memiliki bentuk tulisan yang juga diwariskan dari satu generasi dan generasi lain. Keadaan seperti ini dapat dideskripsikan sebagai beraksara dalam kelisanan. Di lain sisi, ada pula kebudayaan tertentu yang dalam system pewarisannya lebih mengutamakan budaya tulisan ketimbang secara lisan. Dalam konteks manusia sejagad di dunia ini, sebenarnya lebih banyak kebudayaan yang berdasar kepada tradisi lisan ketimbang budaya tulisan. Selain itu, untuk memaknai kedua budaya ini, bukanlah sebuah pemisahan radikal ada atau tidak adanya tulisan sebagai acuan utama. Kedua bentuk pewarisan budaya ini yaitu tulisan dan lisan terjadi secara beriringan dalam kebudayaan manusia.

Lajengkeun maos

SEJARAH ISTILAH HINDU

Istilah Hindu, dalam Encyclopedia of Religion and Ethics vol. 6 ref 699 : kata Hindu tidak ada disebutkan dalam setiap literatur India, bahkan dalam kitab sucinya sendiri sebelum orang Muslim datang ke India. Menurut Encyclopedia Britanica vol. 20 Ref. 581 : kata Hindu pertama kali digunakan oleh penulis Inggris pada tahun 1830 untuk menggambarkan keadaan dan kepercayaan orang India. Seharusnya mengatakan Sanata Dharma (Dharma yang abadi), Vedic Dharma (Dharma Weda), atau Vedantist (pengikut Weda). Oleh karena itu apabila mengatakan nama “Agama /Kepercayaan Hindu (India)” untuk menilai kepercayaan Leluhur Sunda pra Islam (sebelum Islam), hal tersebut akibat terpengaruh oleh orang Ingris yang pernah menjajah India dan Nusantara.

Bahkan fakta yuridis keagamaan di Indonesia sekarang pun menjelaskan, dalam (*//Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan /atau Penodaan Agama. II. PASAL DEMI PASAL, Pasal 1 : Dengan kata-kata “Dimuka Umum” dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia.//*).

Bandingkan dengan Fakta SEJARAH KATA AGAMA[3]

Lajengkeun maos

SEJARAH KATA AGAMA

Kata Agama telah dikenal dan digunkan jauh sebelum Indonesia merdeka yang lahir tahun 1945 M, terdapat dalam Naskah Sunda Kuna Kropak 632, sebagai Naskah Petuah Leluhur Sunda, Raja Sunda (1175-1297 Masehi) Prabu Darmasiksa, atau disebut juga sebagai “Amanat” Galunggung, sebagai berikut :

(a). MELAKSANAKAN AGAMA :
III rekto (*“../jaga isos di carek nu kwalyat, nga- lalwakon Agama nu nyusuk na Galunggung, marapan jaya pran jadyan tahun, hobol nyewana, jaga makeyana patikrama, paninggalna sya seda,/..”.*).

Artinya : (*“../Tetaplah mengikuti ucap (Ajaran) orang tua (Leluhur), melaksanakan Agama yang membuat parit pertahanan di Galunggung, agar unggul perang, serba tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya panjang umur, sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi./..”. *).

(b). MENJAGA KESEMPURNAAN AGAMA :
II verso . (*“/-/sa- II verso 1. pa ta wruh ri puncaknya, asing wruh iya ta wruh inya patingtiman, wruh di carék aki lawan buyut, marapan kita jaya prang höböl nyéwana, jaga kita miprangkön 2. si tepet si bener, si duga si twarasi, iya tuhu sirena janma (d)ina bwana iya kahidupanana urang sakabéh, iya pawindwan ngaranya kangken gunung panghiyangana urang, pi(n)dah 3. ka cibuntu ngaranya, pindah ka l(e)mah pamasarran , gosana wwang ngéyuhan kapanasan, jaga rampésna Agama, hana kahuripana urang sakabeh, mulah kwaywa moha di 4. carékna kwalwat pun.”*).

Artinya : (*“/-/Si – II verso : apa (Siapa) yang mengetahui puncaknya? Siapa pun yang mengetahuinya, ya tahulah akan ketentraman, tahu akan nasihat kakek dan buyut, agar kita unggul perang dan lama berjaya. Janganlah kita memperebutkan (bertengkar) tentang: yang tepat (lurus), yang benar, yang jujur, yang lurus hati; ya sungguh-sungguh tenteram manusia di dunia, ya kehidupan kita semua, ya ketenteraman namanya ibarat gunung kahiyangan (bagi) kita, beralih ke telaga (bening) namanya, beralih ke tanah pusara, tempat orang berteduh dari kepanasan. Pelihara kesempurnaan Agama, pegangan hidup kita semua, jangan luput atau bingung terhadap ajaran para leluhur./”*)

(c). TIDAK AKAN HINA TERSESAT DARI AGAMA :
V verso (*“/…nanya ka nu karwalwat, mwa téo(h) sasab na Agama pun, na sasana bwat kwalwat pun, Hana nguni hana mangké, tan hana nguni tan hana mangké, aya ma böhöla aya tu ayöna, hantö ma böhöla hantö tu ayöna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna aya tu catangna, …/”*).

Artinya : (*“/…Bertanyalah kepada orang-orang tua, (niscaya) tidak akan hina tersesat dari Agama, yaitu hukum buatan leluhur. Ada dahulu ada sekarang, Tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang; ada masa lalu ada masa kini, bila tidak ada masa lalu tidak akan ada masa kini; ada pokok kayu ada batang, tidak ada pokok kayu tidak akan ada batang; bila ada tunggulnya tentu ada catangnya; …/” *).

Adapun istilah kata “Agama” yang digunakan sebagai bahasa Indonesia sekarang, adalah merupakan asal kata serapan dari Bahasa Sang Saka Kreta (Sangsekerta /Sangskrit). Dalam kamus Zoetmulder kata “agama” dibubuhi dengan (skt) menandakan serapan dari bahasa sangsekerta. Agama memiliki beberapa arti seperti doktrin (Ajaran suci) turun temurun, aturan/Hukum, prilaku, sumber pengetahuan, adat, sebagai berikut : //– āgama 23:6 (Skt) doktrin tradisional suci atau ajaran, koleksi doktrin tersebut, pekerjaan suci.//. āgamajña 23:7 (Skt) mengetahui Agama.// āgamapramāṇa 23:8 (Skt) Agama sebagai sarana pengetahuan, memperoleh pengetahuan, kesaksian kitab suci.// āgamarasa 23:9 (Skt) esensi dari kitab-kitab suci.// āgamaśāstra 23:10 (Skt) karya sakral.// āgamawidhi 23:11 (Skt) aturan (hukum) dari tradisi suci.//.

Purbacaraka mengatakan bahwa tujuh puluh sampai delapan puluh persen bahasa Jawa kuna adalah Bahasa Sangsekerta murni.[1] Yang dimaksud dengan bahasa Jawa kuna /atau Bahasa Sangsekerta murni adalah bahasa sebelum ada pemisahan antara bahasa Sunda dan Jawa seperti sekarang. Artinya Bahasa Sangsekerta murni milik Leluhur Bangsa Indonesia (Nusantara).

Dengan demikian, apabila kata “Agama” berasal dari serapan Bahasa Sangsekerta, serta meperhatikan pengertian “Agama” merupakan //– āgama 23:6 (Skt) doktrin (turun temurun) tradisional suci atau ajaran, koleksi doktrin tersebut, pekerjaan suci.//, maka semestinya penggunaan nama kata Agama hanya diperuntukan bagi Masyarakat Indonesia yang masih menjalankan kepercayaan, aturan, hukum, ajaran Leluhurnya sendiri disesuaikan dengan wilayah hukum adat dan budayanya, seperti Agama Hindu Bali (lebih sering disebut sebagai Hindu Bali), Agama Aluk Todolo (Tanah Toraja), Agama Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten), Agama Djawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat), Agama Buhun (Jawa Barat), Agama Kapitayan, Agama Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Agama Parmalim (Sumatera Utara), Agama Kaharingan (Kalimantan), Agama Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara), Agama Tolottang (Sulawesi Selatan), Agama Wetu Telu (Lombok), Agama Naurus (pulau Seram, Maluku) dan sebagainya.

Adapun Sistem Kepercayaan (aturan, hukum, budaya, konsep Tuhan) yang secara fakta historis (fakta sejarah) berasal dari Luar wilayah kepulauan Nusantara, dapat disebutkan sebagai sebuah Aliran Kepercayaan yang sama-sama dilindungi Undang-undang Dasar 1945. Misalnya seperti Aliran Kepercayaan Yahudi, Zoroaster, Nasrasi (Kristen, Katolik), Islam (Mazhab Syi’ah, Madzhab Suni), khong Cu (Confusius), Sikh (India), Hindu India, Budha yang semua sistem kepercayaan tersebut memiliki latar belakang sejarah diwilayahnya masing-masing (luar Nusantara).

[1]According to Poerbatjoroko a well-known Javanese scholar, between seventy and eighty per cent of the words of Javanese language are either pure Sanskrit or of Sanskritic origin.(Quoted in Hindustan Standard (Calcutta), December 30, 1962.)

BACA JUGA :
SEJARAH ISTILAH HINDU

SEJARAH ISTILAH HINDU

GALUNGGUNG

GALUNGGUNG

TIDAK ADA KERAJAAN HINDU DI TATAR SUNDA

TIDAK ADA KERAJAAN HINDU DI TATAR SUNDA

TIDAK ADA KERAJAAN HINDU DI NUSANTARA
http://www.sukapura.id/tidak-ada-kerajaan-hindu-di-nusantara/

RINGKASAN PERJALANAN “YAVADVIPA” (GALUNGGUNG) (3.300 SM – 702 M)

Oleh Agus Wirabudiman
Assalamu’alaikum Wr Wb
SAMPURASUUN…
Nama “Yavadvipa”, disebutkan dalam Literatur Sangsekerta, Epik Ramayana (Valmiki/Walmiki), sekitar 1.500 SM.
Sudrajat, 2012, menuliskan : Sejak ribuan tahun sebelum Masehi, di India telah berkembang kebudayaan besar di Lembah Sungai Indus. Dua pusat kebudayaan di daerah tersebut adalah ditemukannya dua kota kuno yakni di Mohenjodaro dan Harappa (3.300-2.600 SM). Pengembang dua pusat kebudayaan tersebut adalah bangsa Dravida. Pada sekitar tahun 1.500 SM, datanglah bangsa Arya dari Asia Tengah ke Lembah Sungai Indus. Bangsa Arya datang ke India dengan membawa pengaruh tulisan, bahasa, teknologi, dan juga kepercayaan. Kepercayaan bangsa Arya yang dibawa adalah Veda (Weda) yang setelah sampai di India melahirkan agama Hindu (Sanata Dharma /Vedic Dharma /Vedantist”pengikut Weda”).
BANGSA ARYA Dari ASIA TENGAH, Digambarkan Dari Sejarah Situs Lembah Indus, sebagai Pembawa budaya, TULIS, BAHASA, TEKNOLOGI dan KEPERCAYAAN VEDA(Weda).

 

Para ahli tidak ada yang dapat memastikan kapan lahirnya Bahasa Weda/Sangsekerta itu.
—-
KITAB SET /SIT /SITA (WEDA/ILMU) :
===============================
DALAM Epik Ramayana menunjukan, Rama (berkulit putih) = Bangsa Arya berhasil mengalahkan Rahvuvana (berkulit hitam)/Bangsa Dravida. Bangsa Arya datang ke India dengan membawa pengaruh tulisan, bahasa, teknologi, dan juga kepercayaan. Kepercayaan bangsa Arya yang dibawa adalah Veda (Weda) yang setelah sampai di India melahirkan agama Hindu. Bahasa Veda(Weda) adalah Sangsekerta. Bahasa Sangsekerta adalah Bahasa Veda(Weda).
Dalam Literatur Veda/Weda (Sangsekerta) sendiri, Rama memerintahkan Sugriva dan pasukannya untuk mencari Sita(Vada/Weda) ke pulau “Yavadvipa”. Rama berhasail mengambil Sita(Veda/Weda) dari Rahuvana di “YAVADVIPA”.
GARMBARAN PERLAKUAN BANGSA ARYA Yang telah Merebut KITAB VEDA(WEDA) dari BANGSA DRAVIDA, Sama Dengan PERLAKUAN RAMA TERHADAP SITA.
Agus Sunyoto menuliskan dalam bukunya RAHUVANA TATTWA : Sebagai Ksatriya agung, Rama dikisahkan telah melakukan kecurangan yang keji: membokong Bali dengan bidikan panah dari arah belakang ketika raja Ksihkindha itu sedang berkelahi dengan adiknya, Sugriva. Lepas dari upaya pembenaran apologis yang dilakukan Valmiki atas peristiwa itu, tokoh Bali dan pembaca yang kritis layak menyesalkan tindakan curang Rama yang sangat tidak Kshatriya itu. Pada bagian Yuddhakandha, Rama secara mengherankan dikisahkan berbuat melampaui batas, yaitu membiarkan Sita mengunjungi kesetiaan diri dengan membakar diri di atas kobaran api. Belum puas dengan membiarkan tindakan Sita itu, dalam Uttarakandha, Rama digambarkan masih mengusir Sita yang sedang hamil ke hutan hingga istri malang itu tinggal di pertapaan Valmiki. Bahkan ketika Sita melahirkan anak kembar Kusa dan Lava dan saat anak-anak tersebut dewasa, Rama masih belum mempercayai kecusiannya. Akhirnya, Sita yang mungkin sudah putus asa karena terus menerus tidak dipercaya suaminya meminta bumi menelan tubuhnya sebagai bukti kesuciannya. Dan akhirnya hayat Sita yang tragis memang dikisahkan “tertelan” oleh bumi ketika peristiwa gempa.
Fakta Historisya :

Lajengkeun maos